Halaman

Kamis, 20 Desember 2012

Acara Dialog DPC GMNI di SMKN 1 Sumbawa

Sumbawa Besar, WARTASumbawa.
DPC GMNI Sumbawa pada Kamis (20/12) telah menggelar acara dialog dengan tema "Membangun Visi Bersama: Pengakuan Kedaulatan Masyarakat Adat" yang dihadiri oleh berbagai komponen masyarakat, diantaranya mahasiswa, LSM/NGO, komunitas adat, AMAN, akademisi dan kalangan pers. Sayangnya, dalam acara yang dipandu oleh Nurkholis dari insan pers ini, kalangan eksekutif, legislatif maupun LATS yang diundang tidak hadir. "Ada opini bahwa kegiatan ini disabotase, karena isu yang diangkat sangat riskan dan hal in terkait juga dengan kehadiran investasi pertambangan", ujar Nurkholis.
Membuka sesi dialog, Ketua PD AMAN Sumbawa, Jazardi Gunawan, S.IP menyatakan bahwa komunitas adat yang ada diseluruh Indonesia saat ini bergejolak dikarenakan negara telah lupa terhadap keberadaan Komunitas Masyarakat Adat (KMA), padahal KMA tercantum dalam UUD 1945 pasal 2 b. Termasuk keberadaan masyarakat adat di Sumbawa dianggap belum familiar, AMAN ingin membuka cakrawala pola berfikir bahwa apabila tidak ada masyarakat adat, tentunya LATS patut dipertanyakan.
Sementara perwakilan akademisi, M. Saleh Ending, menyorot tentang kondisi komunitas adat saat ini. "Kondisi saat ini bisa saya katakan bahawa komunitas adat ini adalah komunitas orang kalah karena negara. Korporasi sudah mulai memasuki ranah mereka. Artinya sekuat apapun regulasi yang dibuat, KMA tetap pada posisi kalah. Sehingga yang harus kita antisipasi adalah ketika negara bersama dengan kepentingan yang lebih besar, maka kita akan habis", urainya.
Wahidjan dari LSBH yang turut menanggapi dalam acara dialog juga menyatakan bahwa salah satu yang menjadi tugas kita saat ini adalah bagaimana mengkonkretkan definisi hak menguasai negara, karena ada dua hak yang berdasarkan UU, yaitu hak ulayat dan hak menguasai negara. Jika  kedua hak tersebut saling berhadapan, maka hak ulayat menjadi tidak percaya diri karena akan dominan hak menguasai yang dimiliki oleh negara dan ini jekasl akan berakhir dengan konflik horizontal.
Direktur LOH, Yani Sagaroa menambahkan bahwa jika persekutuan terbesar dari masyarakat adat ini adalah negara, maka yang berhak mengakui adalah masyarakat adat. Jadi masyarakat adatlah yang membentuk negara ini. Jika hal ini tidak diakui oleh pihak ekeskutif dan legislatif maka mereka adalah pengkhianat. "Selain secara nasional, internasionalpun mengakui keberadaan masyarakat adat ini. Kalau masyarakat adat terusik dengan adanya investor, maka kewajiban teman-teman untuk mengusir mereka dari wilayah masyarakat adat", imbuhnya dengan bersemangat. (WS)