Sumbawa Besar, WARTASumbawa.
Sebagai studi kasus dari Masyarakat Adat Cek Bocek Selesek Reen Sury atau lebih dikenal juga sebagai Suku Berco yang berada di Kab. Sumbawa, NTB, Febriyan Anindita, SH. (Ketua Bidang Advokasi Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Daerah (AMANDA) Sumbawa menulis sebuah catatan kecil yang telah disampaikan kepada WARTASumbawa, Jum'at (12/10). Adapun isi catatan kecil yang disampaikan tersebut, yaitu :
DESENTRALISASI; PELUANG ATAU MALAPETAKA BAGI MASYARAKAT ADAT
Catatan ini membahas potret masyarakat
adat sekitar hutan yang hidupnya bergantung pada keberadaan hutan dalam
menghadapi program nasional di bidang Pertambangan yang termaktub dalam Kontrak
Karya Pemerintah Indonesia dengan PT.NNT pada tahun 1986. pokok bahasan utama
berfokus pada apakah desentralisasi telah mengadopsi aspirasi masyarakat paling
bawah (masyarakat adat cek bocek), dan apakah desentralisasi merupakan ancaman
bagi eksistensi mereka atau merupakan peluang untuk perbaikan kehidupan mereka.
Apa yang dimaksud dengan Masyarakat Adat?
Yang dimaksud dengan komunitas Masyarakat Adat adalah sekelompok penduduk
yang hidup berdasarkan asal usul leluhur dalam suatu wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai dan sosial budaya yang
khas, berdaulat atas tanah dan kekayaan alamnya serta mengatur dan mengurus
keberlanjutan kehidupannya dengan hukum dan kelembagaan adat ( ps.10 ayat 2 ).
( Hasil KMAN III di Pontianak Kalbar )
Desentralisasi adalah salah satu
mekanisme untuk mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya (Marut, 2000) dan
merupakan alat untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan
menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis (Sidik, 2002), namun pelaksanaannya
ternyata menghadapi banyak kesulitan (jauh
panggang daripada api).
Do'a bersama di makam leluhur |
Kehidupan Komunitas Masyarakat Adat Cek Bocek Selesek Reen Sury (Suku Berco) sudah 6 abad berinteraksi dengan hutan rimba disekitarnya. Ikatan emosional dengan wilayahnya (religious magis) telah membentuk kebiasaan-kebiasaan khas sebagai hasil tempaan dari proses perjalanan kehidupan sosial budaya dan keagamaan. Hal inilah yang terbangun dalam kehidupan sehari-hari melalui proses adaptasi terhadap karakteristik lingkungannya. Dalam perjalanan sejarah masyarakat adat ini, telah banyak bukti-bukti peninggalan yang dijaga kelestariannya hingga sekarang. Eksistensi masyarakat adat cek bocek dalam menjaga warisan leluhurnya telah dirampungkan dalam sebuah maha karya yang dikemas rapi dalam “Buku Tata Ruang Wilayah Adat”, yang berarti telah menjadi kewajiban berbagai pihak yang akan memanfaatkan wilayah mereka untuk menghormati atas segala aturan yang berlaku di tatanan hukum adat cek bocek (Suku Berco) yang dilindungi serta diatur dalam perangkat hukum nasional dan Internasional, termasuk memperhatikan segala aspek baik lingkungan, budaya, dan aosial yang akan ditimbulkan atas pembangunan di wilayah adat.
Otonomi daerah dan desentralisasi di
sektor kehutanan maupun pertambangan yang kurang persiapan memadai akan mendorong
timbulnya kebijakan daerah yang berorientasi sesaat, kedaerahan dan memandang
hutan sebagai sumber potensial bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Semangat mengejar pendapatan dengan mengeksploitasi sumber daya hutan ini seringkali
tidak disertai dengan tanggung jawab untuk melakukan perlindungan, konservasi,
rehabilitasi dan reklamasi hutan. Dampak negatif tindakan ini banyak muncul, mulai
dari hutan yang gundul dan menyebabkan banjir, gagal panen sampai pada
kehilangan tempat mencari nafkah bagi penduduk sekitar hutan, serta isu global
warming (pemanasan global).
Dikhawatirkan jika aspirasi dari
masyarakat adat tidak dapat terakomodir, maka akan terjadi perubahan pada kehidupan
sosial, ekonomi dan budaya masyarakat adat, seperti terjadinya pergeseran pola
pikir, perubahan orientasi ekonomi dan melemahnya kelembagaan adat. Sampai
detik ini DPRD dan pemda belum
memberikan jaminan bahwa aspirasi masyarakat lebih diperhatikan. Hal ini
dikarenakan belum adanya produk hukum yang dibuat pemda yang
mengatur tentang pengakuan keberadaan hak-hak masyarakat adat cek bocek dalam
wilayah adat mereka. DPRD dan pemda terlihat lebih memusatkan
perhatian pada politik untuk mengejar PAD. Akibatnya
desentralisasi dirasakan tidak memberikan harapan, tetapi menjadi ancaman dan
malapetaka bagi kelangsungan kehidupan masyarakat adat Cek Bocek Selesek Reen
Sury dengan wilayah adatnya. Kedepan, Pemkab Sumbawa perlu
menyiapkan kebijakan menyangkut pemanfaatan sumber daya alam yang lebih berimbang dan
transparan dengan banyak menampung aspirasi, peran serta masyarakat dalam
pengawasan dan pengelolaan sumber daya alam yang mereka miliki secara turun
temurun.
Menarik dicatat bahwa pada tanggal 9
Agustus 2006 bertempat di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta dalam peringatan Hari Internasional Masyarakat Hukum Adat se-dunia yang dipublikasi secara nasional, yang juga dihadiri oleh
Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Dikemukakan bahwa dalam proses
pembangunan nasional selama ini peranan masyarakat hukum adat masih belum
optimal. Bahkan tidak jarang hak-hak tradisionalnya diabaikan, dilanggar dan
tidak dihormati lagi. Selain itujuga Presiden telah menyerukan pada segenap
jajaran pemerintah di pusat maupun di daerah, untuk bersungguh-sungguh
memperhatikan kepentingan hukum adat di daerah-daerah dalam menyusun program pembangunan. Lebih lanjut Presiden SBY mengingatkan dalam Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan
bahwa negara mengakui dan menghormati keberadaan hak tradisional hukum adat sepanjang
masih hidup, serta sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.(WS)